Cerpen : THE STORY OF US


THE STORY OF US
by : Marcelina Lydia Fortuna Dewi Simamora

Begitu banyak kisah cinta yang ada didunia ini, begitu pula dengan kisah cintaku. Kisah cinta yang begitu pahit namun slalu ingin aku kenang. Kisah cinta yang membuatku dapat berfikir jauh lebih dewasa.
            Hari ini hujan turun tidak terlalu deras seperti hari-hari kemarin dan aku memilih untuk menghabiskan waktu di sebuah toko buku kecil di seberang SMA ku dulu. Aku memandang keluar jendela toko dan tampak gerbang sekolahku yang tidak banyak berubah, hanya warnanya yang tampak lebih baru. Beberapa saat aku merasa seakan semua hal kembali muncul dalam benakku, semua hal yang mengingatkan aku pada dua laki-laki yang sangat berarti bagiku. Dua laki-laki yang selalu menungguku di gerbang itu.
            “Jen,” begitulah biasanya mereka memanggilku sambil melambaikan tangan dan tersenyum. Dan aku akan membalasnya dengan gembira. Awal pertemuan kami sangatlah menyebalkan, mereka berdua adalah siswa ternakal sekaligus terjenius di sekolah. Terkadang mereka tidak mau mendengarkan guru saat menerangkan tetapi nilai ujian mereka selalu berada diperingkat teratas. Banyak guru yang tidak terlalu berani menegur mereka, tidak hanya karena otak mereka yang benar-benar encer namun karena orang tua mereka yang memiliki pengaruh cukup besar di wilayah kami. Dan disaat seperti itulah para guru memanfaatkan siswa teladan sepertiku untuk mengatasi masalah kenakalan mereka. Tentu saja aku menolak, apa untungnya buatku berurusan dengan anak kaya, jenius serta biang masalah seperti mereka. Dan pihak sekolah tau apa yang aku butuhkan, uang. Aku bersekolah dari beasiswa yang kuterima dari pemerintah karena prestasiku di kancah internasional tapi bukan berarti itu cukup, aku masih butuh uang untuk membiayai hidup yang harus kutanggung sendiri sepeninggalan ayah dan ibuku pada kecelakaan saat aku baru memasuki masa-masa SMA. Maka disitulah aku berada saat itu, bersama dua orang laki-laki yang tampak tidak begitu tertarik dengan apa yang dibicarakan bapak kepala sekolah.
            Masa-masa awal dimana aku harus mengawasi mereka bukanlah masa yang menyenangkan. Aku bahkan tidak tau nama mereka sampai salah seorang teman berkata padaku “Kau beruntung bisa berada berdekatan dengan kedua pangeran itu, kau tau mereka sangat tampan.” Aku memandangi Lizzi dengan tatapan tidak percaya, ternyata ada saja orang-orang yang memuja kedua laki-laki aneh itu. “Aku tidak perduli.” Jawabku singkat.
“Ah kau tidak mungkin tidak tertarik, jujur saja Jen, mana yang kau sukai Fergie atau Ernest?” Lizzi memandangiku sambil menaik turunkan kedua alis tebalnya.
“Yang benar saja Liz, aku bahkan tidak pernah bicara pada mereka, yah maksudku kau tau kan bicara seperti apa yang kumaksud, tugasku hanya mengecek apakah mereka datang ke sekolah tepat waktu dan memastikan mereka mengikuti semua kelas dan tidak membolos serta tidak membuat onar di sekolah, tidak lebih,” aku berharap saat itu juga Liz menyerah dan tidak membicarakan kedua orang yang  telah merusak hari-hariku yang tenang.
Setelah setengah hari mengikutiku dengan segudang cerita tentang Fergie dan Ernest akhirnya Lizzi menyerah juga. Lizzi hanya mengatakan satu kalimat terakhir sebelum ia pergi, “Jennie, kau akan tau bahwa mereka tidak seburuk yang kau fikirkan.” Saat itu aku hanya mengangkat bahu dan tidak terlalu memikirkan kata-kata Lizzi karena tentu saja aku harus mengecek ke kelas Geografi apakah kedua pangeran itu ada atau tidak. Dengan system pindah kelas yang diterapkan di sekolahku sebenarnya agak sulit juga mengecek jadwal Fergie dan Ernest apalagi ketika jadwal kami berbeda dan jarak antara kelasku dan kelas mereka berjarak sangat jauh seperti sekarang. Aku menaiki tanggan menuju lantai 2 kelas geografi.
“Kami tidak akan membolos hari ini, tenang saja,” bisik Fergie ditelingaku saat aku melongok ke dalam kelas.
“Yah lagipula diluar panas, lebih enak tiduran di kelas,” kata Ernest yang kemudian masuk ke kelas mengikuti Fergie. Aku tidak tau apa yang mereka fikirkan, seharusnya dengan otak sejenius dan orang tua yang sangat berpengaruh mereka tentunya tidak harus bersekolah di sekolah negeri dikota kecil seperti kota kami ini. Mereka bisa saja bersekolah di luar negri, dengan tata cara yang tentunya lebih bebas sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Aku melongok sekali lagi dan memastikan mereka ada di kelas. Kulihat Fergie sedang memandang keluar jendela, entah apa yang dilihatnya sementara Ernest sepertinya sudah jauh di dunia mimpi. Biar sajalah, yang penting mereka tidak membolos dan aku bergegas kembali kekelas Biologiku di lantai satu karena tentu saja aku sudah sangat terlambat.
                                                                  ***
“Jennie,” panggil seseorang sambil menepuk bahuku dan membuyarkan segala lamunan tentang masa SMAku. Ernest dia telihat begitu tampan dan gagah.
“Hei, kita jadi pergi?” tanyaku memastikan.
“Tentu saja, aku rasa kau pasti sudah tidak sabar,” Ernest tersenyum dan berjalan mendahuluiku menuju parkiran. Hari ini kami berencana mengunjungi Fergie. Aku merasa harus tersenyum hari ini, karena semalaman aku sudah berjanji bahwa aku tidak akan mengeluarkan air mata lagi.
      Aku memandang sekeliling, kota kecil yang sudah lima tahun aku tinggalkan. Kota kecil tempatku dibesarkan dan tempatku belajar banyak hal. Ernest menggenggam tanganku dengan tangan kirinya sambil terus focus menyetir. Aku hanya tersenyum dan memandangnya. Kami melewati taman kota yang cukup luas dan tertata rapi. Kembali terngiang suara tawa yang sangat aku rindukan, suara tawaku, Fergie dan Ernest.
            “Hahahahahahha, kau tau tarianmu itu sangat buruk,” kataku sambil terus terbahak-bahak setelah Ernest menarikan sebuah tarian india yang telah ia modifikasi. Saat itu aku memilih bersantai di taman kota sepulang sekolah bersama kedua sahabatku. Yah setelah banyak hal yang aku alami bersama mereka aku akhirnya bisa menerima kehadiran mereka di dalam hidupku. Semuanya berawal saat aku sakit demam tinggi dan tidak dapat masuk sekolah. Aku bukan tipe orang yang mudah sakit, hanya saja kata dokter aku sangat kelelahan dan aku disuruh istirahat di rumah. Rumah yang sebenarnya lebih tepat disebut kos-kosan, karena hanya ada sebuah dapur kecil kamar mandi dan kamar. Beberapa kali tanteku menelpon untuk memastikan aku baik-baik saja, dan menyuruhku menginap di rumahnya, tapi aku menolak. Bukan karena aku tidak suka dengan tanteku, hanya saja aku tidak mau merepotkannya karena keberadaanku. Aku tahu tanteku sudah sangat kerepotan mengurusi restoran dan kedua anaknya yang masih balita ditambah lagi urusan perceraian dengan suaminya yang terus saja berselingkuh. Tante memang mengambil alih hak asuh atas diriku karena dia adalah satu-satunya keluargaku di dunia ini, almarhum mama adalah anak tunggal sementara papa anak pertama dan tante Arini adalah satu-satunya adiknya, tapi saat itu aku tau aku harus mampu menanggung diriku sendiri. Aku tidak menolak jika tante Arini mengirimiku uang, tapi aku tidak pernah meminta. Berapapun yang ia beri kuterima dengan penuh syukur.
            Sore itu aku beranjak dari tempat tidur setelah tidur seharian. Aku memilih mencuci muka dan menggoreng beberapa telur untuk kumakan. Tiba-tiba saja terdengar ketukan pintu dan aku sangat kaget saat mendapati Fergie dan Ernest di depan kamarku. Fergie tersenyum ramah padaku sementara Ernest memandangku dengan tatapan cuek dan seenaknya nyelonong masuk ke kamarku.
“Kamar ini sempit sekali,” katanya memandang sekeliling. “Ada WC?” tanyanya padaku. Aku menunjuk lemah ke sebuah pintu di pojokan kamar, ingin sekali kupukul kepalanya tapi tubuhku terlalu lemah. Fergie masuk setelah kupersilahkan. Aku tau Fergie memang terlihat lebih dewasa dan tenang daripada Ernest tapi pada saat-saat tertentu mereka berdua terlihat sama saja, tukang bolos dan pembuat onar.
“Ini catatan pelajaran hari ini, tadi kami sempat ke kelasmu dan meminjam beberapa catatan temanmu, “ Kata Fergie menyodorkan beberapa buku dan sebuah plastic berisi sebuah kotak. “Dan ini ada sedikit makanan, Ernest memaksaku untuk membelinya di jalan tadi,”
“Terima Kasih,”aku menerima semua pemberian Fergie dengan malu-malu. Aku rasa ada yang janggal karena saat itu jantungku berdenyut sangat cepat. Ernest keluar dari kamar mandi sambil menatap kami berdua heran.
“Kalian tidak sedang berbuat mesum kan?” tanyanya seenaknya sambil terkekeh jahil.
“Apa kau sudah ke rumah sakit?”Tanya Fergie tidak memperdulikan Ernest. Aku mengangguk masih tidak percaya akan apa yang ada dihadapanku. Dalam hati aku bertanya ‘apa mereka menghawatirkanku? tapi kenapa?’
“Kapan kau masuk sekolah?” Tanya Ernest yang telah duduk disampingku dan menyenggol bahuku pelan.
“Be..besok,” Aku menggeser dudukku sedikit menjauh dari Ernest dan sepertinya ia mengerti bahwa aku kurang nyaman saat berdekatan dengannya.
“Jen, aku mau Tanya sesuatu, jangan bilang kalau kau belum pernah pacaran?” pertanyaan tiba-tiba yang langsung dilontarkan begitu saja oleh Ernest dan tentunya sangat menusuk bagiku yang saat itu berusia 17 tahun. 
“Hahahhahahha, “ Tiba-tiba saja Ernest dan Fergie tertawa terbahak-bahak berdua. Aku masih tidak mengerti dimana sisi lucunya sampai mereka tertawa begitu keras. Apa belum pernah pacaran di usia 17 tahun adalah sesuatu yang sangat lucu?
“Kau sangat lucu Jen,” kata Fergie, “wajahmu itu bisa menggambarkan semua hal yang kau pikirkan, kau tau kami seharian merasa bosan disekolah karena tidak ada teriakanmu yang akan memanggil kami dikoridor untuk masuk kelas,”
“Ya, apalagi jeweran dan omelanmu saat aku menjahili Vero dengan kentang rebus kesukaannya di cafeteria, rasanya sangat sepi,” Ernest memandangku dengan wajah memerah. Entah karena ia lelah tertawa atau karena hawa kamarku yang memang panas. Aku hanya bisa tersenyum dan menitikkan air mata, entah kenapa aku merasa sangat nyaman saat itu. Aku merasa bahagia sampai air mataku tidak berhenti mengalir.
                                                                              ***
Ernest mengerem mobil tiba-tiba dan tentu saja itu sangat mengejutkanku. “Ada apa?” tanyaku padanya.
“Tidak apa-apa, aku hanya tidak sengaja melihat pohon persahabatan kita, kau mau turun sebentar, aku rasa Fergie pasti akan menunggu kita,” Ernest membuka pintu dan keluar. Aku mengikutinya mendekati sebuah pohon besar yang tampak sangat tua. Ernest menyentuh dahannya yang besar, disana tertulis nama kami bertiga Fergie Jennie Ernest. Aku kembali tenggelam dalam kenangan masa laluku di bawah pohon ini.
“Kau tau, orangtua kami adalah sahabat baik, sangat baik sampai-sampai ayah kami tidak tau bahwa kami bukan anaknya,” Fergie memandang menerawang ke langit.
“Maksudnya?” Aku bertanya bingung. Aku memandang Fergie dan Ernest  yang duduk di sebelah kanan dan kiriku bergantian. Tetapi mereka sepertinya sibuk dengan fikirannya masing-masing hingga akhirnya Ernest bicara.   
“Ibuku berselingkuh dengan ayah Fergie dan ibu Fergie berselingkuh dengan ayahku, jadi kami seperti putra yang tertukar tetapi tidak ditukar, “kata Ernest sambil tersenyum ringan padaku. “Yah, begitulah hidup, dan kami tidak perduli, itu urusan mereka”
Aku memandang mata Ernest dan beralih memandang Fergie, “Kalian bohong,” Mereka berdua memandangku kaget. “Kalian bohong saat kalian bilang kalian tidak perduli, aku tau kalian merindukan pelukan ayah kandung kalian kan?”
“Kau tau apa, toh sebentar lagi ayah dan ibuku akan bercerai, begitu juga ayah dan ibu Fergie dan kami tidak sedih, kami tau pernikahan mereka hanyalah kebohongan belaka,” Ernest terlihat gusar.
“Ibuku menangis semalam,” Fergie mulai bicara lagi, “ Ia menangis seperti delapan tahun lalu saat aku kelas 3 SD, ia memelukku dan mengatakan bahwa laki-laki yang begitu kubanggakan dan kukagumi itu bukanlah ayahku. Aku marah, kufikir ibuku bukanlah wanita baik-baik, karena ia telah menghianati ayah. Sampai keluarga Ernest datang kerumahku untuk jamuan makan malam, dan aku melihat ayah mencium ibu Ernest di taman belakang.”
“Aku juga melihatnya, aku melihat ibu dan ayah Ernest berciuman, saat itu aku menangis, aku sering melihat ayah dan ibu bertengkar, ibu pernah mengatakan bahwa ayah berselingkuh, tak kusangka bahwa ia sama saja,” Ernest memejamkan matanya seakan menahan sakit yang begitu dalam. “Kau tau Jen, saat itu Fergie datang padaku dan berkata, bahwa kami tidak memerlukan mereka, kami akan menjalani kehidupan kami sendiri tanpa kebohongan dari mereka.”
“Ya, dan sejak saat itu kami berdua diasingkan ke kota ini, karena mereka menganggap kami anak nakal yang tidak pernah mau menurut, baru semalam ibu datang menangis dan mengatakan akan bercerai dengan ayah, kau tau apa yang aku fikirkan, kenapa mereka harus menikah jika mereka memang tidak saling mencintai,”
      Aku dapat merasakan kepedihan yang selama bertahun tahun disimpan oleh Fergie dan Ernest, kepedihan atas luka yang begitu dalam, kenyataan pahit yang harus mereka ketahui disaat mereka belum siap. Kenyataan pahit yang membuat mereka tumbuh dalam kesepian. Kugenggam tangan mereka berdua dan aku berbisik pada mereka sambil memejamkan mata “ Tetaplah mencintai ayah dan ibu kalian dalam keadaan apapun.”
                                                                  ***
“Jen, kita harus pergi sekarang,” Ernest menggandeng tanganku meninggalkan pohon penuh kenangan itu. Aku berlari kecil untuk dapat mengimbangi langkah Ernest yang besar. Kami masuk ke dalam mobil, kulihat mata Ernest sedikit sembab, mungkin dia sempat menangis saat kami berada di pohon itu. Namun aku tau tangisannya bukanlah tangisan kesedihan itu tapi sebaliknya. Kulihat Ernest yang berada disampingku saat ini, sungguh Ernest yang berbeda, sangat berbeda dari lima tahun yang lalu.
“Jen aku menyukaimu, “Ernest menggenggam tanganku dan tampak secercah harapan di dalam matanya. Aku sangat bingung dengan pengakuan Ernest sepulang sekolah. “Apa kau juga menyukaiku?”
“Er, aku, aku,” Aku tidak berhasil menemukan kata-kata yang tepat.
“Aku tau, kau menyukai Fergie kan? aku tau dari semua gerak gerik dan tatapanmu padanya, hanya saja kufikir aku bisa mengubahnya, sudahlah, lupakan saja,” Ernest melepaskan genggaman tangannya dan menyentuh pundakku, “Kuharap kau bisa jujur pada Fergie.”
      Saat itu juga jantungku berdetak sangat kencang, aku tersenyum pada Ernest dan kurasa dia benar, aku memang sudah lama memimpikan Fergie. Selama ini aku tidak bisa mengatakannya dan terus menutupinya tapi mau sampai kapan, seminggu lagi kami lulus dan aku harus jujur. Aku mencari Fergie disepanjang koridor sekolah dan aku mendapatinya sedang tertawa bersama Lizzi. Aku mendekati Fergie dengan perasaan tidak karuan, rasanya seluruh perasaan cintaku sudah matang dan siap untuk dihidangkan.
“Hai Jen,” sapa Lizzi riang
“Hai Liz, ha..hai Fer,” aku menggigit bibirku dan menahan sedikit perasaanku, disana masih ada Lizzi dan aku tidak mungkin menyatakan perasaanku saat itu, tapi sungguh aku tidak tahan lagi untuk bilang kalau aku sangat mencintai Fergie.
“Kau tau Jen, kami baru saja jadian, Fergie bilang dia sudah lama memendam perasaannya padaku, dan aku sangat bahagia, kau juga akan bahagia untuk kami kan Jen?” tanya Lizzi sangat riang sambil bergelut manja pada Fergie. Sungguh saat itu rasanya ada sebuah petir menyambar jantungku, rasanya sangat sakit. Aku kembali menggigit bibirku tapi kali ini bukan untuk menahan perasaanku tetapi untuk menahan air mataku. Aku tidak mau menangis sekarang.
“Ten…. tentu, aku ikut bahagia,” suaraku terdengar serak dan aku tau senyumku terlihat sangat jelek saat itu, tapi mau bagaimana lagi. Aku bukanlah seorang aktris yang bisa berakting bahagia meskipun ia ingin menangis sekeras-kerasnya.
“Jen, kau sakit?” Tanya Fergie sambil menyentuh pipiku. Tidak, jangan terlalu baik padaku, aku tidak tahan lagi dan akupun berlari meninggalkan Fergie dan Lizzi yang terlihat cemas dan bingung.
      Aku berlari ke taman belakang sekolah dan menangis tanpa suara, tiba-tiba sebuah tangan meraihku dan menyandarkan kepalaku di dadanya. Entah siapa itu, aku tidak perduli, yang kuinginkan hanya menangis hingga akhirnya aku kelelahan dan ketiduran.
Saat aku terbangun aku sudah berada di Klinik sekolah. Aku lupa siapa yang membawaku tapi sesaat aku merasa sangat nyaman dan aman. Aku memandang keluar jendela, dan aku tau cintaku pada Fergie mungkin masih belum bisa aku hilangkan saat itu juga, tapi aku tidak menyesal pernah mencintainya, dan aku berharap ia akan bahagia bersama Lizzi.
                                                                        ***
Perayaan kelulusanpun dimulai, aku duduk disebelah Ernest yang telah menerimaku meskipun ia tau bahwa cintaku pada Fergie masih melekat erat dihatiku. Katanya “Percayalah, aku akan membuatmu mencintaiku,” Ernest menggenggam tanganku, kupandang ia, mungkin memang inilah yang terbaik. Aku berbalik dan melihat Fergie dan Lizzi duduk sangat mesra tidak jauh dari tempatku duduk, mereka berdua tersenyum dan melambaikan tangan, dan kubalas dengan senyuman.
Kisah cinta itu berakhir begitu saja, aku melanjutkan kuliah bersama Ernest di Canada. Ernest membuat ayah dan ibunya tidak jadi bercerai, mereka berbaikan dan menyadari semua kesalahan mereka, tentunya belum terlambat untuk memulai sebuah kehidupan yang baru kan. Mereka juga menyetujui hubungan kami serta membiayai kuliahku di Canada. Yang aku dengar ayah dan ibu Fergie juga tidak jadi bercerai, entah apa sebabnya tapi kurasa hal itu tidak lepas dari peran Fergie yang sangat mencintai kedua orang tuanya. Ernest dan Fergie sudah lama melupakan masalah keturunan darah. Bagi mereka ibu dan ayah yang telah membesarkan mereka, itulah orang tua mereka. Fergie juga melanjutkan kuliah di Amerika dan Lizzi di Jakarta, tapi hubungan mereka tetap berlanjut dan disinilah kami sekarang. Di kota kecil tempat kami bertemu dan tumbuh dewasa.
Sebulan yang lalu aku dan Ernest mendapatkan surat undangan dari Lizzi. Kami tidak tahu maksud undangan itu karena tidak ada keterangan yang dicantumkan, hanya alamat yang harus kami tuju. Tapi kami yakin pasti ada perayaan tertentu atau mungkin pengumuman pernikahan Fergie dan Lizzi. Membayangkannya saja membuatku tersenyum-senyum sendiri.
“Kenapa sayang?” Tanya Ernest sambil membelai rambutku sambil terus menyetir menuju alamat yang diberikan Lizzi.
“Aku Cuma teringat masa lalu kita, masa-masa kita bermain bersama Fergie, aku rasa Tuhan memang sudah merencakan semuanya,” kataku sambil memeluk Ernest.
“Yah, sebentar lagi kita akan bertemu dengan Lizzi dan Fergie, apa kau sudah tidak sabar?” Tanya Ernest sambil terus membelai rambutku dengan tangan kirinya. Dan aku mengangguk bahagis. Kini aku sangat mencintai Ernest. Ia memberikan cintanya yang tulus dan menunggu hingga aku dapat pulih kembali dari perasaanku kepada Fergie. Kini aku tidak ragu lagi untuk bertemu Fergie ataupun Lizzi karena aku sudah sangat yakin dengan perasaanku.
“Yap kita sampai,” Ernest mengecup dahiku dan kamipun turun, aku agak heran karena rumah yang kami datangi bukanlah sebuah rumah seperti dalam bayangan kami. Dan yang lebih mengejutkan disana bertuliskan “MAKAM”
“Sayang, kenapa kita ke kuburan?” Tanyaku heran.
“Aku tidak tahu, aku hanya mengikuti alamat dan peta yang diberikan Lizzi,” kata Ernest yang juga tampak bingung. Tiba-tiba saja pintu rumah kayu didekat makam itu terbuka dan Lizzi yang tampak sangat modis dan cantik keluar sambil menggendong seorang bayi.
“Lizzi,” kataku bahagia dan berlari kecil dan memeluknya .
“Hai Jen, hai Er, lama sekali ya kita tidak bertemu, ayo masuk, aku ingin menceritakan banyak hal pada kalian,” Lizzi tampak begitu cantik dan anggun, dan menurutku tidak mungkin ia tinggal di rumah kayu tempat penjaga makam.
“Dimana Fergie?”tanyaku padanya. Lizzi menyodorkan sebuah amplop surat kepadaku. “ Bacalah, dan setelah itu aku akan mempertemukanmu dengan Fergie.” Kata Lizzi begitu misterius. Ia tampak sedih dibalik wajah cantiknya.

Jenniefer dan Ernest,
Pertama-tama aku ingin meminta maaf kepada kalian atas semua kebohonganku. Aku bahagia melihat kalian bersama, mendengar kalian bertunangan di Canada, dan maaf karena sekali lagi aku harus berbohong karena aku tidak mungkin menghadirinya meskipun aku sangat menginginkannya.
Ernest, aku tahu kau sangat mencintai Jen, dan kau akan menerima serta menyayangi Jen apa adanya. Maka aku percayakan Jen ditanganku sobat. Aku yakin kau akan membuatnya bahagia.
Jen, kau tau, aku selalu memandangmu melalui jendela kelasku saat kau bermain voli dan tertawa bersama teman-temanmu. Aku selalu ingin melindungimu, berada disampingmu, bahkan saat kau menangis aku tidak sanggup melihatnya. Aku hanya bisa memelukmu dan membawamu ke Klinik. Aku suka tawamu, senyummu, teriakanmu, kemarahanmu, ketegaranmu dan semua tentang dirimu. Aku mencintaimu Jen.
Tapi aku tau aku tidak ditakdirkan utnuk bersamamu. Aku tidak mampu menjagamu. Maka aku meminta Lizzi untuk berbohong pada kalian seminggu sebelum pesta kelulusan. Aku memintanya berpura-pura menjadi kekasihku selama seminggu. Sungguh maafkan aku.
Aku memang ke Amerika, tetapi aku tidak kuliah disana, aku harus menjalani berbagai terapai karena penyakitku. Saat aku mendengar kalian bertunangan dan mengundangku aku ingin pergi, tetapi tubuhku tidak mengizinkannya.
Mungkin saat Lizzi memberikan surat ini, aku sudah dalam perjalananku menuju kehidupan yang kekal, kau tau seperti yang pernah diajarkan Bapa Ruben kepada kita sewaktu SMA. Bahwa kita tidak perlu takut akan kematian karena setelahnya akan ada kehidupan kekal yang menanti kita. Maka akupun tidak takut, aku bahagia. Dan kuharap Kau dan Ernest juga dapat merasakan kebahagiaan yang sama seperti yang kurasakan.
Selalu Mencintaimu
Fergie
            Aku menangis tak henti membaca surat Fergie. Aku tidak pernah melihat Fergie mengeluh tentang penyakitnya. Ia bahkan terlihat sangat sehat dan kuat. Ernest memelukku dan menenangkanku. Aku tau saat itu Ernest juga ingin menangis namun ia cepat-cepat mengusap air matanya dan memelukku. Kami terdiam cukup lama, hanya air mata yang terus membasahi pipiku.
“Bagaimana? Apa kalian sudah siap bertemu dengan Fergie?” Tanya Lizzi setelah memberikan bayinya untuk digendong oleh suaminya. Ernest memandangku dan aku hanya bisa mengangguk lemah.Kami berjalan menelusuri pemakaman itu dan berhenti pada sebuah nisan indah yang terbuat dan batu marmer berkilau.disana terulis nama Alexxander Fergie Setiawan.
“Fergie meninggal setahun yang lalu, dan sebelum ia meniggal ia berkata ingin dimakamkan di kota ini, dia mengahabiskan masa hidupnya dipanti rehabilitasi, disana ia sangat disenangi, karena ia menghibur semua orang yang memiliki penyakit sama dengannya. Ia selalu mengirimiku surat, karena sejujurnya dari dulu aku sangat mencintainya, aku sempat menawarkan diri untuk menemaninya menghabiskan sisa hidupnya, tapi Fergie bilang aku bukan jodohnya. Ia bilang ada seorang lelaki yang sedang menungguku di luar sana. Dan benar saja, kini aku mempunyai seorang anak dengan lelaki yang sangat mencintaiku,” Lizzi terdiam sebentar dan menepuk pundakku “Jen, Fergie sangat mencintaimu, ia juga menyayangi Ernest, ia tau yang terbaik untuk kalian. Berhentilah menangis, biarkan Fergie pergi dengan tenang.”
Aku menatap Lizzi, menghapus air mataku dan memeluk Ernest, aku tidak akan menangis lagi. Saat kami hendak pergi, aku mendekati makam Fergie dan berbisik pelan dengan perasaan lebih tenang dan ikhlas “Terima Kasih Fergie, Aku tahu kau akan bahagia disana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar