Kamis, 10 November 2011

Kita dan Mereka Dalam Sejarah Tragedi 1965


Kita dan Mereka
Dalam Sejarah Tragedi 1965

Saat ini tidak banyak kaum muda Indonesia tahu dan mengerti betul tentang peristiwa sejarah Indonesia. Padahal pada dasarnya kita yang dikatakan kaum muda atau penerus bangsa dan mereka yang tertanam didalam kisah sejarah memiliki keterkaitan dalam membangun negeri ini. Hal ini dapat dilihat dengan mengulas kembali kisah sejarah yang patut direnungkan dan dimengerti oleh kaum muda penerus bangsa.
Mengenang dan mempelajari masa-masa sejarah tentunya akan membuat kita menjadi lebih menghargai tentang  apa yang kita miliki saat ini. Dalam sejarah banyak hal terkait yang dapat dipetik dan dijadikan panutan untuk menjadi lebih baik di masa yang akan datang. Begitu pula dengan sejarah berdirinya demokrasi di Indonesia. Kejadian-kejadian masa lalu yang tentu saja membuat kita yang mendengarnya akan menitikkan air mata atau bahkan semakin bersemangat serta menumbuhkan rasa cinta tanah air yang besar. Salah satu peristiwa sejarah terbesar di Indonesia adalah tragedi 1965 yang sering disebut G 30 S PKI, dimana begitu banyak rakyat Indonesia menangis dan menjadi korban kekejian pihak-pihak tertentu. Tidak hanya itu peristiwa ini juga merupakan peristiwa yang cukup banyak mengandung kontrofersi dan sangat kompleks.
Peristiwa G 30 S PKI berawal dari sakitnya Presiden Soekarno yang menimbulkan kegelisahan dan pertanyaan dari berbagai kalangan tentang siapa yang mampu menggantikan Soekarno sebagai pemimpin bangsa Indonesia kelak. Banyak pihak yang berebut untuk menjadi “penjaga sah” Soekarno, salah satunya adalah Angkatan Darat (AD),dan PKI yang merupakan yang merupakan pilar penopang Demokrasi Terpimpin. Kebiasaan hidup glamour dari beberapa pejabat tinggi Angkatan Darat saat itupun membuat keadaan semakin berantakan, begitu juga Soeharto didalamnya. Tidak hanya itu pihak luar yang berkepentingan juga ikut ambil andil dalam gemelut dunia politik Indonesia saat itu seperti Amerika (AS), Inggris, Uni Soviet, dan China yang terbagi atas blok barat dan blok timur. Dalam situasi seperti ini Indonesia sungguh berada di tengah kemelut yang sangat besar, tentunya karena tidak adanya lagi seorang pemimpin yang dapat diandalkan seperti Soekarno dan belum ada keberanian dari rakyat sendiri untuk mengambil tindakan kepada para pemimpin Negara.
Tidak berhenti pada kegelisahan dan pengaruh-pengaruh yang timbul, sakitnya Soekarno yang semakin parah juga menyebabkan santernya isu Dewan Jenderal yaitu adanya sebuah dewan yang terdiri dari jenderal-jenderal kontra revolusioner, yang  dengan bantuan nekolim (neo kolonialisme) seperti AS, Inggris dan lain sebagainya akan menggulingkan kekuasaan Soekarno.  Dalam hal ini para perwira progresif berinisiatif mengambil tindakan dengan melakukan gerakan menghadapkan para Jenderal yang mereka duga kontra-revolusioner ke hadapan Soekarno. Mereka menyebutnya dengan Gerakan 30 September (G 30 S) berdasarkan tanggal gerakan tersebut yang bermarkas di Desa Lubang Buaya,Jakarta Timur . Yang menjadi kejanggalan serta tanda Tanya besar dalam peristiwa ini adalah tidak tercantumnya nama Soeharto di dalam nama-nama jenderal yang akan diculik, padahal Soeharto merupakan salah satu perwira senior Angkatan Darat. Kejanggalan kedua muncul dari urutan kepemimpinan dalam tubuh G 30 S yang sangat tidak masuk akal dalam strata kemiliteran, dimana Untung yang berpangkat Letnan Kolonel menjabat menjadi pemimpin gerakan dan A.Latief yang berpanglat Kolonel dan Soepardjo yang berpangkat Brigadir Jenderal menjabat sebagai wakil. Kejanggalan ketiga dimana Untung dan Latief merupakan orang terdekat Soeharto. Kita sebagai kaum muda tentunya sedikit banyak dapat membaca apa arti dari semua kejanggalan yang terjadi secara beruntun dalam peristiwa sejarah ini bukan? Dan sekali lagi saat itu rakyat bungkam.
Pada akhirnya gerakan yang telah direncanakan mencapai kata mufakat. Dalam aksi  G 30 S terdapat tiga orang jenderal yang tewas di rumahnya masing-masing yaitu Menteri/Panglima Angkatan Darat A. Yani, Mayjen MT Haryono, dan Brigjen DI Pandjaitan,sementara target lain yang masih hidup dibawa ke markas dan dibunuh. Seorang jenderal paling senior, AH Nasution berhasil lolos meski anak bungsunya tewas terkena peluru pasukan penculik. Tidak berhenti sampai disitu aksi G 30 S terus merajalela dengan menduduki Medan Merdeka Selatan dan Barat serta RRI. Mereka mulai mengumandangkan gerakan “penyelamatan presiden” dengan mengumumkan beberapa nama yang pada dasarnya tidak mengerti secara jelas keadaan yang terjadi, seperti batalyon-batalyon dari Kodam Diponegoro dan Brawijaya guna mendukung gerakan tersebut. Selain itu diserukan pula pembentukan badan pendukung gerakan di daerah-daerah. Saat itu,baik dari pasukan batalyon maupun rakyat yang sedari awal bungkam dan menjadi penonton menjadi bingung hendak memihak pada kalangan yang mana.
Gerakan G 30 S akhirnya dapat dihentikan oleh Soeharto, dengan melakukan penyerangan kepada seluruh anggota G 30 S. Hal ini dapat dikatakan sebagai sebuah kejanggalan serta insubordinasi atau tindakan pembangkangan dalam dunia militer karena dengan menyerang G 30 S yang notabene adalah “penyelamat presiden” Soeharto jelas menunjukkan ketidakpatuhannya  pada perintah atasan yakni Presiden Soekarno. Selain itu kekuasaan yang dimiliki Soeharto semakin kuat ketika is berhasil memaksa Soekarno mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) melalui perantaraan tiga jenderal  yaitu Mayjen Basuki Rachmat, Brigjen M. Jusuf, dan Brigjen Amir Machmud. Kekuasaan yang kian hari kian kuat membuat Soeharto berhasil menyingkirkan orang-orang maupun organisasi yang dianggap menjadi saingannya dalam kancah perpolitikan seperti PKI yang ditumpas habis secara keji dan tidak manusiawi.Banyak rakyat Indonesia yang tidak mengerti apa-apa juga menjadi korban dalam peristiwa ini.Selain itru dilakukan juga Penggantian anggota MPRS dan DPRS secara sepihak dan berpuncak pada diangkatnya saingan terkuat Soeharto yaitu Nasution menjadi ketua MPRS sehingga tidak ada lagi penghalang untuk menuju kursi nomor satu di Indonesia begitu pula dengan Soekarno yang kian hari kian tak berdaya. Kejanggalan yang paling menonjol dari seluruh rangkaian peristiwa sejarah ini ketika Soeharto telah menjadi presiden dan Supersemar kembali dipertanyakan, karena pada dasaranya Supersemar hanyalah surat perintah pengamanan keadaan dari Soekarno ke Soeharto bukanlah surat penyerahan kekuasaan politik. Hal ini sangat berpengaruh kuat terutama menyangkut legalitas pemerintahan Orde Baru pimpinan Soeharto. Dan ketika pemasalahan itu kembali dikuak, Supersemar dinyatakan hilang, yang tersisa hanyalah bentuk copy nya dan itupun dalam beragam versi. Kekejian dan kelicikan yang terjadi pun  turut berlanjut, orang-orang yang dianggap tidak sejalan dengan Soeharto seakan hilang tanpa jejak. Terakhir diketahui bahwa mereka dibuang ke Pulau Buru dan banyak pula yang dibunuh. Tidak jauh berbeda nasib Soekarnopun kian memburuk dengan menjadi tahanan rumah hingga wafatnya.
Dari serentetan kisah sejarah, G 30 S adalah tragedi yang menimbulkan cukup banyak  pertanyaan dan kebingungan dari berbagai kalangan dari tahun ke tahun. Yang menjadi pertanyaan adalah, sebegitu besarnya kekuasaan dan pengaruh seorang Soeharto sehingga selama 30 tahun kekuasaannya rakyat seakan bungkam dan hanya menjadi penonton yang taat. Namun tentunya semua itu ada batasnya, dan terbukti bahwa saat ini semua kejanggalan tersebut mulai terkuak satu persatu meskipun hingga kini masih terdapat sisa-sisa pertanyaan yang belum terjawab. Kita sebagai kaum muda penerus bangsa tentu dapat menganalisis sendiri seperti apa mereka yang tertanam dalam tragedi sejarah khususnya dalam peristiwa G 30 S ini. Lalu apa yang dapat kita lakukan? Apakah kita hanya akan diam dan memandangi kisah sejarah sebagai dongeng belaka? Tentu saja tidak, kita dapat mengambil banyak pelajaran dan menjadikannya sebagai pedoman untuk membangun bangsa yang lebih bermoral dan tidak egois, serta lebih manusiawi. Sehingga kelak dapat tercipta sebuah kesejahteraan bangsa, dimana terdapat seorang pemimpin yang arif bijaksana serta rakyat dapat hidup dengan harmonis dan saling berdampingan tanpa adanya keinginan untuk saling menghancurkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar